Pages

Kamis, 23 Juni 2011

Surat Impian Denia
Hujan turun tadi malam. Menerbitkan titik-titik bening di pucuk-pucuk daun dan membangunkan kuncup- kuncupnya. Daun-daun menggeliat dan mengerjap malu-malu. Burung- burung berlomba merentangkan dan mengepak-ngepakkan sayapnya di udara. Berlari menyambut sentuhan hangat mentari yang dengan murah hati menebarkan cahayanya. Langit bersih kebiruan. Gumpalan awan selembut kapas membentang di angkasa. Anggun.

Matahari belum tinggi benar ketika Denia melongok ke dalam lemari tuanya yang mulai rapuh di makan ngengat. Kardus-kardus berdebu di atas lemari sekejap telah berpindah tempat. Berjejer rapi di atas lantai berwarna coklat yang kini telah memudar. Denia menggapai-gapai sarang laba-laba di dalam lemari. Menjaring dan mengibaskannya dari ujung jemarinya yang lentik. Denia menghela napas. Tumpukan kardus, kain-kain, dan perabotan rumah yang berjejalan dihadapannya menanti sentuhan tangannya. Sekejap tangan terampilnya mulai sibuk mengangkat benda-benda yang ada di lemari. Tak semudah yang ia bayangkan karena kardus-kardus tersebut ternyata cukup berat baginya. Denia kepayahan. 

Matahari sepenggalah naik. Tanah yang lembab mulai mengering. Pohon- pohon mulai bangun dan bernapas. Saling berebut cahaya matahari. Suara-suara manusia yang hidup bertetangga mulai terdengar saling menyapa. Embun telah menguap.

Gadis berjilbab itu asyik melepaskan ikatan yang selama ini memeluk erat kardus-kardus tuanya. Membongkar dan mengeluarkan isinya perlahan. Mata Denia takjub melihat satu persatu benda-benda di tangannya. Pensil kayu berukir hadiah Bapak. Buku-buku pelajarannya ketika masih duduk di bangku SMA, SMP bahkan SD masih setia terbaring di dalam kardus mie instan di depannya. Ia geli sendiri ketika membolak-balik buku buku catatan SD-nya. Tulisan tangannya dulu sangat lucu. Hurufnya kurus, berantakan dan agak miring. Sebagian buku catatannya terlihat keriput dan keriting. Tulisannya ada yang sedikit terhapus bahkan hilang. Pasti karena bukunya basah terkena hujan. Ia ingat bagaimana dulu ia menjemur buku-bukunya yang basah karena hujan. Maklum, atap rumah mungilnya dulu banyak yang berlubang. Jika hujan turun, Ibu pasti berlari ke dapur. Mengambil baskom, panci, gayung lalu meletakkannya tepat di bawah atap yang berlubang untuk menampung tetesan air hujan. Jika hujan turun sangat deras dan tiba-tiba, tak banyak benda-benda yang bisa ia dan Ibu selamatkan. Termasuk buku-buku pelajarannya.

Langit sepenuhnya terang. Kelelawar menutup matanya rapat-rapat. Kupu-kupu menari-nari. Berwarna-warni. Kunang-kunang diam bersembunyi di peraduannya.

Mata Denia melihat sekeliling. Cukup banyak barang-barang yang telah ia pisahkan. Sebagian yang akan disumbangkan, dan sebagian lagi yang akan ia bawa ke rumah barunya, tempat keluarga kecilnya tinggal. Kali ini ia menarik selotip yang merekat di atas kardus. Mereka-reka apa isi kardus tersebut. Denia membuka tutup kardus perlahan. Jam dinding mini, setumpuk novel, majalah dan sebuah kotak kayu mungil. 
“Kotak kayu apa ini?”, Denia bergumam. Ia mengusap dan menggoyang-goyangkannya. Mengira-ngira isinya. Bunyinya lembut. Kertaskah?Foto? Atau jangan-jangan uang?. Denia terkekeh. Cepat-cepat ia membuka tutup kotak kayu itu untuk mengobati rasa penasarannya. Beberapa amplop surat melompat keluar.
“Surat?”, Denia terperangah. Ia memungut sebuah. Membolak-baliknya. Dan menemukan segurat tulisan tertera di depan amplop.
Yth. Denia Aisyah Syifarani
di masa yang akan kau lampaui

Denia kenal tulisan itu. Sangat mengenalnya. Kerinduan tiba-tiba menyeruak di dalam benaknya. Memenuhi setiap jengkal aliran darahnya. Hatinya pias. Bismillah. Di robeknya amplop surat itu perlahan. Kemudian di bacanya seksama dalam hati.

Tegal, 4 Maret 1999
Hai, apa kabar Denia? Semoga kau dalam keadaan sehat selalu.
Hari ini aku sedikit capek. Ujian sebentar lagi, Denia. Aku harus belajar keras. Hari ini aku meringkas banyak catatan. Kupikir akan sangat membantuku dalam mengingat pelajaran. Aku ingin lulus ujian dan masuk SMA impianku.Itu artinya aku harus giat belajar dan lebih banyak mengerjakan latihan soal ujian. 
Denia tersenyum. Sejenak ia terhisap ke dalam pusaran yang membawanya ke dalam kenangan dua belas tahun lalu.

Denia, kau tahu? Sebenarnya aku ingin seperti teman-temanku. Mereka mempersiapkan ujian dengan ikut bimbingan belajar. Aku iri. Tapi, kau tahu bukan? Jika aku memaksa ikut bimbingan belajar, itu sama artinya aku menambah beban pada Ibu dan Bapak. Untuk menyekolahkanku saja Ibu dan Bapak mati-matian bekerja. Bukankah bisa bersekolah saja sudah merupakan kebahagiaan dan karunia yang luar biasa untukku? Jadi kutepis jauh-jauh rasa iri, ego, dan sedih itu. Aku pasti bisa lulus ujian dengan nilai baik! Aku ingin membuat Ibu dan Bapak senang.  
Denia,
Aku jadi berpikir. Tidak bisa ikut bimbingan saja aku sudah sedih. Padahal aku masih bisa bersekolah. Aku masih punya Ibu dan Bapak yang sangat menyayangiku. Lalu, bagaimana dengan teman-temanku yang tidak lebih beruntung dariku?
Mereka yang tidak bisa bersekolah. Bahkan yang tidak punya Ibu dan Bapak sepertiku. Apa mereka tidak sedih? Pasti sedih sekali ya...
Kalau aku dewasa nanti, aku ingin sekali membangun sekolah gratis atau mungkin panti asuhan. Pokoknya aku ingin memiliki sesuatu yang bisa berguna bagi orang lain. Bukan malah menambah beban mereka. Aku ingin teman-teman yang lain bersekolah sama sepertiku. Agar tidak ada lagi yang bermain sambil memulung di tempat sampah. Agar tidak ada lagi yang menatap sedih teman-temannya yang bersekolah, sedangkan ia tidak!
Apa kau punya impian yang sama sepertiku, Denia? Masihkah kau memiliki harapan itu? Agar yang lain tahu nikmatnya bersyukur. Agar semua tahu bahwa Allah sangat menyayangi kita. Agar mereka tahu, kita semua bersaudara dan harus hidup tolong menolong. Agar mereka tidak selalu berpikir ”Dunia itu kejam”. Kita harus jadi manusia yang peduli,ya kan Denia?
Aku ingin mewujudkannya Denia. Ingin sekali. Mudah-mudahan sekarang kau bisa mewujudkannya. Aku percaya kau tidak akan melupakan impian ini.
Sudah dulu ya Denia. Lain kali akan kutulis lagi surat untukmu.
Salam hangat,
si kecil Denia Aisyah Syifarani
Blass. Hati Denia melengos. Seluruh sendinya lemas. Begitu polos kata-kata surat ini. Surat dari diri sendirinya di masa kecil. Impian-impiannya. Kini telah sampai padanya. Bibirnya bergetar. Maafkan aku Denia, aku belum bisa mewujudkan impian kita. Bahkan jujur, aku lupa pada impian indah itu. Ya Allah, betapa lalainya hamba-Mu ini. Maafkan aku Ya Allah.
Denia melirik pucuk-pucuk surat yang lain. 

Angin sejuk pagi mulai terusik asap-asap kendaraan yang lalu lalang. Debu-debu mengejar tanpa ampun. Kupu-kupu malu-malu terbang. Kebisingan meliuk tajam.

Tegal, 21 Juli 2001
Ibu menangis! Ibuku tersayang menangis, Denia. Bukan karena terharu seperti ketika melihatku memutuskan untuk berjilbab. Bukan karena sedih karena melihatku mati-matian bersabar menahan cemoohan ”tante-tante genit”  rumah bordil seberang sana. Ibu menangis hebat. Bumi pun serasa ikut menangis. Hentakan air mata langit menghujam keras pagi ini. Menyesapi gundukan tanah merah yang masih baru. Gundukan tanah yang menghiasi makam Bapak. Bapak meninggal, Denia. Shubuh tadi merupakan hari terakhirnya bersembahyang. Serangan jantung. Begitu dokter mengatakannya.
Bagai tersambar petir! Bahkan aku tak tahu harus berbuat apa. Menangis? Itu hanya akan menambah kesedihan Ibu. Menyesal? Mungkin. Belum sekalipun aku mengabulkan keinginan-keinginan Bapak. Memberangkatkan Bapak naik haji. Bahkan sekedar membelikan beliau sepotong baju koko! Bisakah waktu terulang kembali?

bersambung...

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright (c) 2010 Imou no Nikki. Design by Wordpress Themes.

Themes Lovers, Download Blogger Templates And Blogger Templates.